HAKEKAT ‘URF
1.1
Latar Belakang
Sebuah komunitas tidak akan pernah bisa dilepaskan
jauh dari nilai, norma, tindakan yang telah mereka anut, sebagaimana anak yang
tidak akan pernah bisa berpisah dengan orang tuanya. Agama/ syariat
menyadari akan keniscayaan ini, oleh karenanya ulama’ mencoba mengakomodasi
nilai, norma, tindakan, dan apa-apa yang dimiliki oleh sebuah komunitas sosial
(budaya/urf) ke dalam syariat dengan cara memasukkannya kepada salah satu unsur
mashadir al ahkam. Hal ini diakui ataupun tidak adalah salah satu kunci sukses
mengapa islam bisa bertahan dalam waktu yang lama dan juga mampu menembus sekat
ruang dan waktu dalam penyebarannya.
Kami akan mencoba mendiskusikan budaya/urf sebagai salah
satu bagian dari ushul fiqh, apa yang mendasari ulama untuk menjadikan hal
tersebut sebagai salah satu pijakan hukum, bagaimana mereka mengaplikasikannya
di dalam kehidupan nyata masyarakat, hal yang tentunya tidak semudah dengan apa
yang sedang kita diskusikan, karena tidak semua ulama setuju, walaupun juga
tidak sedikit yang tetap menjadikannya sebagai pijakan hukum.
1.2
Rumusan Masalah
1.
Apa Hakekat ‘urf secara epistemologi dan etimologi ?
2.
Bagaimana Kedudukan ‘Urf sebagai dalil Syara’ ?
3.
Apa Saja Kaidah-Kaidah Fiqih yang berkaitan dengan ‘Urf ?
4.
Apa Saja Syarat-Syarat ‘Urf ?
1.3
Tujuan
1.
Mengetahui hakekat ‘urf secara
epistemologi dan etimologi
2
Mengetahui kedudukan ‘Urf sebagai dalil Syara’
3
Mengatuhui Kaidah-Kaidah Fiqih yang berkaitan dengan ‘Urf
4
Mengetahui syarat-Syarat ‘Urf
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 HAKEKAT ‘URF
a.
Pengertian
Secara
etimologi ‘urf berarti “ sesuatu yang dipandang baik dan diterima oleh akal
sehat”.[1]
Secara terminologi kata ‘urf mangandung makna:
مااعتاده الناس وسارواعايه من كلّ فعل شاع بينهم ، أو لفظ تعاوفوا
إطلاقة على معنى خاص لاتألفة اللغة ولا يتبادرغيره عندسماعه.
Sesuatu yang
menjadi kebiasaan manusia, dan mereka mengikutinya dalam bentuk setiap
perbuatan yang populer di antara mereka, ataupun suatu kata yang biasa mereka
kenal dengan pengertian tertentu, bukan dalam pengertian etimologi, dan ketika
mendengar kata itu, mereka tidak memahaminya dalam pengertian lain.
Istilah ‘urf
dalam pengertian tersebut sama dengan pengertian istilah al-‘adah (adat
istiadat). Adat adalah sesuatu yang telah mantap di dalam jiwa dari segi
dapatnya diterima oleh akal yang sehat dan watak yang benar[2].
Adat itu mencakup persoalan yang amat luas, yang menyangkut permasalahan
pribadi, seperti kebiasaan seseorang dalam tidur, makan, dan mengkonsumsi jenis
makanan tertentu, atau permasalahan yang menyangkut orang banyak, yaitu sesuatu
yang berkaitan dengan hasil pemikiran yang baik dan yang buruk. Tetapi para
ulama’ ushul fiqih membedakan antara adat dengan ‘urf dalam membahas
kedudukannyasebagai salah satu dalil untuk menetapkan hukum syara’. Menurut
musthafa ahmad al-zarqa’ ( guru besar fiqh islam di universitas ‘amman,
jordania), mengatakan bahwa ‘urf merupakan bagian dari adat, karena adat lebih
umum dari ‘urf.
Contoh :Di satu masyarakat dalam melakukan jual beli kebutuhan ringan
sehari-hari seperti garam, tomat, dan gula, dengan hanya menerima barang dan
menyerahkan harga tanpa mengucapkan ijab dan qabul.
b.
Macam- macam ‘urf
Para ulama’
ushul fiqih membagi ‘urf kepada tiga macam :[3]
1.
Dari segi objeknya dibagi menjadi dua :
a.
Al-‘urf al-lafdzi ( kebiasaan yang menyangkut ungkapan )
Adalah
kebiasaan masyarakat dalam mempergunakan lafal/ungkapan tertentu dalam
mengungkapkan sesuatu, sehingga makna ungkapan itulah yang dipahami dan
terlintas dalam pikiran masyarakat.
Contoh
: ungkapan “daging” yang berarti sapi, padahal kata-kata “daging” mencakup
seluruh daging yang ada. Apabila seseorang mendatangi penjual daging, sedangkan
penjual daging itu memiliki bermacam-macam daging, lalu pembeli mengatakan “
saya beli daging satu kilogram “, pedagang itu langsung mengambilkan daging
sapi, karena kebiasaan masyarakat setempat telah mengkhususkan penggunaan kata
daging pada daging sapi.
b.
Al-‘urf al-‘amali ( kebiasaan yang berbentuk perbuatan )
Adalah
kebiasaan masyarakat yang berkaitan dengan perbuatan biasa atau mu’amalah keperdataan.
Yang dimaksud perbuatan biasa adalah perbuatan masyarakat dalam masalah
kehidupan mereka yang tidak terkait dengan kepentingan orang lain, seperti
kebiasaan libur kerja pada hari-hari tertentu dalam satu minggu, kebiasaan
masyarakat tertentu memakan makanan khusus atau meminum minuman tertentu dan
kebiasaan masyarakat dalam memakai pakaian tertentu dalam acara-acara khusus.
Contoh
: kebiasaan masyarakat dalam berjual beli bahwa barang-barang yang di beli itu
di antarkan kerumah pembeli oleh penjualnya, apabila barang yang di beli itu
berat dan besar, seperti lemari es dan peralatan rumah tangga lainnya, tanpa di
bebani biaya tambahan.
2.
Dari segi cakupan nya ‘urf di bagi menjadi dua yaitu :
a.
Al-‘urf al-‘am ( kebiasaan yang bersifat umum )
Adalah
kebiasaan tertentu yang berlaku secara luas di seluruh masyarakat dan di
seluruh daerah.
Contoh
: kebiasaan yang berlaku bahwa berat barang bawaan bagi setiap penumpang
pesawat terbang adalah dua puluh kilogram.
b.
Al-‘urf al-khas ( kebiasaan yang bersifat khusus )
Adalah
kebiasaan yang berlaku didaerah dan masyarakat tertentu.
Contoh
:dikalangan para pedagang, apabila terdapat cacat tertentu pada barang yang
dibeli dapat dikembalikan dan untuk cacat yang lainnya dalam barang itu,
konsumen tidak dapat mengembalikan barang tersebut. Atau juga kebiasaan
mengenai penentuan masa garansi terhadap barang tertentu.
3.
Dari segi keabsahannya dari pandangan syara’ ‘urf di bagi menjadi
dua yaitu :
a.
Al-‘urf al-shokhih ( kebiasaan yang dianggap sah )
Adalah
kebiasaan yang berlaku ditengah-tengah masyarakat yang tidak bertentangan nash
( ayat atau hadist ), tidak menghilangkan kemaslakhatan mereka, dan tidak pula
membawa mudarat kepada mereka.
Contoh
: dalam masa pertunangan pihak laki-laki memberikan hadiah kepada pihak wanita
dan hadiah ini tidak dianggap sebagai mas kawin.
b.
Al-‘urf al-fasid ( kebiasaan yang dianggap rusak )
Adalah
kebiasaan yang bertentangan dengan dalil-dalil syara’ dan kaidah-kaidah dasar
yang ada dalam syara’.
Contoh
: dalam “penyuapan “ . untuk memenangkan perkaranya, seseorang menyerahkan
sejumlah uang kepada hakim, atau untuk kelancaran urusan yang dilakukan
seseorang, ia memberikan sejumlah uang kepada orang yang mengenai urusannya.
2.2 KEDUDUKAN ‘URF SEBAGAI DALIL SYARA’
Pada dasarnya, semua ‘ulama menyepakati kedudukan al-‘urf
ash-shahihah sebagai salah satu dalil syara’. Akan tetapi, diantara mereka
terdapat perbedaan pendapat dari segi intensitas penggunaannya sebagai dalil.
Dalam hal ini, ulama hanafiyah dan malikiyah adalah yang paling banyak menggunakan
al-‘urf sebagai dalil, di bandingkan dengan ulama syafi’iyah dan hanabilah.
Para ulama juga sepakat menyatakan bahwa ketika ayat-ayat al-qur’an
diturunkan, banyak sekali ayat-ayat yang mengukuhkan kebiasaan yang terdapat di
tengah-tengah masyarakat. Para ulama’ ushul fiqih sepakat bahwa ‘urf
al-shakhih, yaitu ‘urf yang tidak bertentangan dengan syara’, baik yang
menyangkut ‘urf al-‘am dan ‘urf al-khas, maupun yang berkaitan dengan ‘urf
al-lafdzi dan ‘urf ‘amali, dapat di jadikan hujjah dalam manetapkan hukum
syara’.
Adapun kehujjahan ‘urf sebagai dalil syara’, didasarkan atas
argumen-argumen berikut ini.[4]
a.
Firman Allah pada surat al-‘araf (7) : 199
خذالعفو وأمر
بالعرف وأعرض عن الجاهلين
“ jadilah engkau pemaaf
dan suruhlah orang mengerjakan yang ma’ruf, serta berpalinglah dari pada
orang-orang yang bodoh”.
Malalui ayat
diatas Allah memerintahkan kaum muslimin untuk mengerjakan yang ma’ruf .
sedangkan yang di sebut ma’ruf itu sendiri ialah, yang dinilai oleh kaum
muslimin sebagai kebaikan, dikerjakan berulang-ulang, dan tidak bertentangan
dengan watak manusia yang benar, dan yang di bimbing oleh prinsip-prinsip umum
ajaran islam.
b.
Ucapan sahabat Rasulullah , abdullah bin mas’ud
فماراه المسلمون حسنا فهو عند الله وماراه المسلمون سيئا فهو عند الله
شيئ
“Sesuatu yang di nilai
baik oleh kaum muslumin adalah baik di sisi Allah, dan sesuatu yang mereka
nilai buruk maka ia buruk di sisi Allah”.
Ungkapan
Abdullah bin Mas’ud di atas, baik dari segi redaksi maupun maksudnya,
menunjukkan bahwa kebiasaan-kebiasaan baik yang berlaku di dalam masyarakat
muslim yang sejalan dengan tuntutan umum syari’at islam, adalah juga merupakan
sesuatu yamg baik di sisi Allah. Sebaiknya, hal-hal yang bertentangan dengan
kebiasaan yang dinilai baik oleh masyarakat, akan melahirkan kesulitan dan
kesempitan dalam kehidupan sehari-hari. Padahal, dalam pada itu, Allah
berfirman pada surat al-ma’idah:6
ما يريد الله ليجعل عليكم من حرج ولكن يريد ليطهركم وليتم نعمته ،
عليكم لعلكم تشكرون .
“Allah tidak hendak
menyulitkan kamu, tetapi Dia hendak membersihkan kamu dan menyempurnakan
nikmatnya bagimu, supaya kamu bersyukur”.
c.
Pada dasarnya, syari’at
islam dari masa awal banyak menampung dan mengakui adat atau tradisi yang baik
dalam masyarakat selama tradisi itu tidak bertentangan dengan Al-qur’an dan
sunnah rosulullah. Kedatangan islam bukan menghapuskan sama sekali tradisi yang
telah menyatu dengan masyarakat. Tetapi secara secara selektif ada yang di akui
dan dilestarikan serta ada pula yang dihapuskan. Misal adat kebiasaan yang di
akui, kerja sama dagang dengan cara berbagi untung ( al- mudhorobah). Praktik
seperti ini sudah berkembang di kalangan bangsa arab sebelum islam, dan
kemudian diakui oleh islam sehingga menjadi hukum islam. Berdasarkan kenyataan
ini, para ulama menyimpulkan bahwa adat istiadat yang baik secara sah dapat di
jadikan landasan hukum, bilamana memenuhi beberapa persyaratan.[5]
2.3 KAIDAH-KAIDAH FIQH YANG BERKAITAN DENGAN ‘URF
Di terimanya ‘urf sebagai
landasan pembentukan hukum memberi peluang lebih luas bagi dinamisasi hukum
islam. Sebab, di samping banyak masalah-masalah yang tidak tertampung oleh
metode-metode lainnya seperti qiyas, istihsan, dan maslahah mursalah yang dapat
di tampung oleh adat istiadat ini, juga ada kaidah yang menyebutkan bahwa hukum
yang pada mulanya di bentuk oleh mujtahid berdasarkan ‘urf, akan berubah
bilamana ‘urf itu berubah.
Inilah yang di maksud oleh para ulama, antara lain ibnu al-qoyyim
al-jauziyah (w. 751 H) bahwa tidak diingkari adanya perubahan hukum dengan
adanya perubahan waktu dan tempat “ تغيير الأحكام بتغييرالأزمان والأمكنة” maksud
ungkapan ini adalah bahwa hukum-hukum fikih yang tadinya dibentuk berdasarkan
adat istiadat yang baik, hukum itu akan akan berubah bilamana adat istiadat itu
berubah.[6]
Dari berbagai kasus ‘urf yang di jumpai, para ulama ushul fiqih
merumuskan kaidah-kaidah fiqh yang berkaitan dengan ‘urf, di antaranya adalah[7] :
1.
العادة محكمة
“ adat
kebiasaan itu bisa menjadi hukum “.
2.
والأمكنة لاينكرتغيّرالأزمنة
" tidak di ingkari perubahan hukum disebabkan
perubahan zaman dan tempat”.
3.
عرفا كالمشروط شرطا المعروف
“ yang baik itu menjadi ‘urf, sebagaimana yang di isyaratkan itu
menjadi syarat”.
4.
بالعرف كالثابت بالنص الثابت
“ yang di tetapkan melalui ‘urf sama dengan yang ditetapkan melalui
nash ( ayat atau hadits )”.
5.
بالعؤف ثابت بدليل
شرعى الثابت
“
yang baik itu menjadi ‘urf (seperti ) berlaku berdasarkan dalil syara’”.
6.
لاعبرة للعرف الطارئ
“
‘urf yang datang kemudian tidak dapat dijadikan sandaran hukum terhadap kasus
yang telah lama.[8]
7.
ما ورد به الشرع مطلقا ولا
ضابط له فيه ولا في اللغة يرجع فيه إلى العرف كل
” semua ketentuan syara’ yang bersifat mutlaq, dan tidak ada
pembatasan di dalamnya, bahkan juga tidak ada pembatasan dari segi kebahasaan,
maka pemberlakuannya di rujukkan kepada ‘urf “.[9]
Aplikasi dari kaidah ‘urf yang terakhir di atas, misalnya : syara’
tidak memberi batasan pengertian yang disebut al-hirtz ( barang yang
terpelihara ), berkaitan dengan situasi barang yang di curi, sehingga hukuman
potong tangan dapat di jatuhkan terhadap pencuri. Oleh karena itu, untuk
menentukan batasan pengertiannya diserahkan kepada ketentuan ‘urf. Demikian
juga tentang lamanya masa tenggang waktu maksimum tanah yang ditelantarkan oleh
pemilik tanah pertama, untuk bolehnya oranglain menggarap tanah tersebut (
ihya’ – al- mawat ), di tentukan oleh ‘urf yang berlaku dalam masyarakat.
Para ulama ushul fiqh juga sepakat bahwa hukum-hukum yang di
dasarkan kepada ‘urf bisa berubah sesuai dengan perubahan masyarakat pada zaman
tertentu dan tempat tertentu. Sebagai konsekuensinya, mau tidak mau hukum juga
berubah mengikuti perubahan ‘urf tersebut. Dalam konteks ini, berlaku kaidah
yang menyebutkan :
الحكم
يتغير بتغير الأزمنة والأمكنة والأحوال والأشخاص والبيئات
“
ketentuan hukum dapat berubah dengan terjadinya perubahan waktu, tempat,
keadaan, individu, dan perubahan lingkungan”.
2.4 SYARAT-SYARAT ‘URF
Para ulama ushul fiqh menyatakan bahwa suatu ‘urf, baru dapat di
jadikan sebagai salah satu dalil dalam menetapkan hukum syara’ apabila memenuhi
syarat-syarat sebagai berikut :[10]
1.
‘urf itu ( baik yang bersifat khusus dan umum maupun yang bersifat
perbuatan dan ucapan ), berlaku secara umum. Artinya, “ ‘urf itu berlaku dalam mayoritas
kasus yang terjadi di tengah-tengah masyarakat dan keberlakuannya di anut oleh
mayoritas masyarakat tersebut.
2.
‘urf itu telah memasyarakat ketika persoalan yang akan ditetapkan
hukumnya itu muncul. Artinya, ‘urf yang akan dijadikan sandaran hukum itu lebih
dahulu ada sebelum kasus yang akan ditetapkan hukumnya.
3.
‘urf itu tidak bertentangan dengan yang di ungkapkan secara jelas
dalam suatu transaksi. Artinya, dalam suatu transaksi apabila kedua belah pihak
telah menentukan secara jelas hal-hal yang harus dilakukan, seperti dalam
membeli es, di sepakati oleh pembeli dan penjual, secara jelas, bahwa lemari es
itu dibawa sendiri oleh pembeli kerumahnya. Sekalipun ‘urf menentukan bahwa
lemari es yang dibeli akan diantarkan pedagang
kerumah pembeli, tetapi karena dalam akad secara jelas mereka telah
sepakat bahwa pembeli akan membawa barang tersebut sendiri kerumahnya, maka
‘urf itu tidak berlaku lagi.
4.
‘urf itu tidak bertentangan dengan nash, sehingga menyebabkan hukum
yang dikandung nash itu tidak bisa diterapkan. ‘urf seperti ini tidak dapat
dijadikan dalil syara’, karena kehujjahan ‘urf bisa diterima apabila tidak ada
nash yang mengandung hukum permasalahan yang dihadapi.
BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
Secara etimologi ‘urf berarti “ sesuatu yang dipandang baik dan
diterima oleh akal sehat. Secara terminologi kata ‘urf mangandung makns Sesuatu
yang menjadi kebiasaan manusia, dan mereka mengikutinya dalam bentuk setiap
perbuatan yang populer di antara mereka, ataupun suatu kata yang biasa mereka
kenal dengan pengertian tertentu, bukan dalam pengertian etimologi, dan ketika
mendengar kata itu, mereka tidak memahaminya dalam pengertian lain.
Adapun macam-macam ‘urf yaitu al-‘urf al-amali, al-‘urf al-am,
al-‘urf al-khos, al-‘urf as-shokhih dan al-;urf al-fasid. Para ulama sepakat
bahwa urf fasid tidak dapat dijadikan hujjah di dalam hukum islam. Sedangkan
urf yang shahih ada ikhtilaf/kontroversi ulama di dalamnya. Kebanyakan ulama
hanafiyyah dan malikiyyah serta beberapa dari hanbaliyyah bisa menerimanya.
Para ulama ushul fiqh sepakat bahwa hukum-hukum yang di dasarkan
kepada ‘urf bisa berubah sesuai dengan perubahan masyarakat pada zaman tertentu
dan tempat tertentu. Sebagai konsekuensinya, mau tidak mau hukum juga berubah
mengikuti perubahan ‘urf tersebut. Dalam konteks ini, berlaku kaidah yang
menyebutkan :
الحكم
يتغير بتغير الأزمنة والأمكنة والأحوال والأشخاص والبيئات
“
ketentuan hukum dapat berubah dengan terjadinya perubahan waktu, tempat,
keadaan, individu, dan perubahan lingkungan”.
DAFTAR PUSTAKA
Haroen
Nasroen. 1995. ushul fiqih. Ciputat : PT Logos Wacana Ilmu.
Dahlan
Abd.Rahman. 2010. Ushul Fiqih. Jakarta : AMZAH.
Syafe’i
Rahmat. 2007.Ilmu Ushul Fiqih. Bandung : CV Pustaka Setia.
Abdullah
Sulaiman. 1995. Sumber Hukum Islam. Jakarta : Sinar Grafika.
Efendi
Satria dan Zein. 2005. Ushul Fiqih. Jakarta : Pernada Media.
Khallaf
Syekh Abdul Wahab.1993. Ilmu Ushul Fiqih. Jakarta : PT Rineka Cipta.
[1] Sastria efendi dan zein, ushul fiqih,2005,hal:153
[2] Abd rahman dahlan,ushul fiqih,2010,hal : 209
[3] ibid
[4] Nasroen haroen, ushul fiqih, 1997, hal : 139
[5] Acid, hal : 212
[6] Acid, hal : 156
[7] Acid,hal : 157-158
[8] Nasroen haroen,1995, ushul fiqih,hal : 143
[9] Acid, hal : 213
[10] Acid , hal : 143-144
Izin kopi untuk tugas mata kuliah ulumul hadits
BalasHapusassalamu'alaikum wr wb.terima kasih atas ilmu yang bermanfaat ini semoga allah membalas atas kebaikan anda.izin kopy tgas mata kuliah ushul fiqh
BalasHapus