Jumat, 15 Juni 2012

BUDAYA POPULER


Masuklah ke Department store terkenal. Coba perhatikan pengunjung yang asyik melihat-lihat ragam koleksi yang supertrendi itu. Di depan rak deretan maxi dress, bisa jadi ada seorang wanita berusia 40-an berdampingan dengan wanita usia belasan tahun. Mereka memilih maxi dress yang sama! Fenomena terkini, wanita segala usia berkumpul di satu toko baju untuk membeli item fashion yang sama.Setelah dibeli, maxi dress berbahan jersey dengan motif bunga-bunga itu dipakai tak hanya untuk arisan di mal, tapi juga dipakai untuk membeli roti di supermarket, atau terkadang berubah fungsi sebagai baju tidur. Sah-sah saja.



        Mendefinisikan "budaya" dan "populer", yang pada dasarnya adalah konsep yang masih diperdebatkan, sangat rumit. Definisi itu bersaing dengan berbagai definisi budaya populer itu sendiri. John Storey, dalam Cultural Theory and Popular Culture, membahas enam definisi. Definisi kuantitatif, suatu budaya yang dibandingkan dengan budaya "luhur" (Misalnya: festival-festival kesenian daerah) jauh lebih disukai. "Budaya pop" juga didefinisikan sebagai sesuatu yang "diabaikan" saat kita telah memutuskan yang disebut "budaya luhur". Namun, banyak karya yang melompati atau melanggar batas-batas ini misalnya Shakespeare, Dickens, Puccini-Verdi-Pavarotti-Nessun Dorma. Storey menekankan pada kekuatan dan relasi yang menopang perbedaan-perbedaan tersebut seperti misalnya sistem pendidikan.
        Definisi ketiga menyamakan budaya pop dengan Budaya Massa. Hal ini terlihat sebagai budaya komersial, diproduksi massal untuk konsumsi massa. Dari perspektif Eropa Barat, budaya pop dapat dianggap sebagai budaya Amerika. Atau, "budaya pop" dapat didefinisikan sebagai budaya "autentik" masyarakat. Namun, definisi ini bermasalah karena banyak cara untuk mendefinisikan "masyarakat". Storey berpendapat bahwa ada dimensi politik pada budaya populer; teori neo-Gramscian "… melihat budaya pop sebagai tempat perjuangan antara 'resistansi' dari kelompok subordinat dalam masyarakat dan kekuatan 'persatuan' yang beroperasi dalam kepentingan kelompok-kelompok dominan dalam masyarakat." Suatu pendekatan postmodernism pada budaya populer "tidak lagi mengenali perbedaan antara budaya luhur dan budaya populer."
          Storey menekankan bahwa budaya populer muncul dari urbanisasi akibat revolusi industri, yang mengindentifikasi istilah umum dengan definisi "budaya massa". Penelitian terhadap Shakespeare (oleh Weimann atau Barber Bristol, misalnya) menemukan banyak vitalitas karakteristik pada drama-drama Shakespeare dalam partisipasinya terhadap budaya populer Renaissance. Sedangkan, praktisi kontemporer, misalnya Dario Fo dan John McGrath, menggunakan budaya populer dalam rasa Gramscian yang meliputi tradisi masyarakat kebanyakan (Ludruk misalnya).
            Budaya Pop selalu berubah dan muncul secara unik di berbagai tempat dan waktu. Budaya pop membentuk arus dan pusaran, dan mewakili suatu perspektif interdependent-mutual yang kompleks dan nilai-nilai yang memengaruhi masyarakat dan lembaga-lembaganya dengan berbagai cara. Misalnya, beberapa arus budaya pop mungkin muncul dari (atau menyeleweng menjadi) suatu subkultur, yang melambangkan perspektif yang kemiripannya dengan budaya pop mainstream begitu sedikit. Berbagai hal yang berhubungan dengan budaya pop sangat khas menarik spektrum yang lebih luas dalam masyarakat.
Budaya populer (biasa disingkat sebagai budaya pop—dalam bahasa Inggris popular culture atau disingkat pop culture) adalah gaya, style, ide, perspektif, dan sikap yang benar-benar berbeda dengan budaya arus utama 'mainstream' (yang preferensinya dipertimbangkan di antara konsensus informal). Banyak dipengaruhi oleh media massa (setidaknya sejak awal abad ke-20) dan dihidupkan terus-menerus oleh berbagai budaya bahasa setempat, kumpulan ide tersebut menembus dalam keseharian masyarakat. Budaya populer sering dipandang sepele dan "tidak intelek" jika dibandingkan dengan apa yang disetujui sebagai budaya arus utama. Sebagai hasil dari persepsi ini, budaya pop mendapat banyak kritikan dari berbagai sumber ilmiah dan budaya mainstream (biasanya dari kelompok-kelompok religi dan countercultural) yang menganggap budaya pop superficial (palsu), konsumeris, sensasionalis, dan tak bermoral.

Sikap ini tercermin dalam preferensi dan penerimaan atau penolakan terhadap berbagai fitur dalam berbagai subjek, misalnya masakan, pakaian, konsumsi, dan banyak aspek entertainment seperti olahraga, musik, film, dan buku-buku. Budaya populer sering bertolak belakang dengan "budaya tinggi" (budaya luhur, budaya adiluhung) yang merupakan budaya kaum penguasa. Juga ditentangkan dengan budaya rendah atau rakyat dari kelas akar rumput.

Awal mula penggunaan kata "popular" dalam bahasa Inggris adalah pada abad kelima belas dalam hukum dan politik, yang berarti rendah "rendah", "dasar", "vulgar", dan "masyarakat kebanyakan"; sejak akhir abad kedelapan belas, popular berarti "luas" dan mendapatkan arti konotasi yang positif (William, 1985). Kata "Culture" di kalangan pengguna bahasa Inggris, sejak tahun 1950-an digunakan untuk mengacu pada berbagai kelompok masyarakat, dengan penekanan pada perbedaan budaya.

Budaya Pop Sebagai Komunikasi Politik

Mengapa para bakal calon (balon) gubernur atau presiden akhir-akhir ini suka bernyanyi? Mengapa bahkan ada yang merasa perlu menggubah lagu dan meluncurkan album? Mengapa balon pejabat di berbagai daerah nyaris dari Sabang hingga Merauke merasa perlu mencantumkan deretan gelar akademis di kartu nama dan media kampanye politiknya?

Jawabannya, barangkali karena "Politik adalah show business," kata Neil Postman, seorang pedagog dan kritikus media. Politik adalah bisnis pertunjukan! Guy Debord, dalam The Society of the Spectacle, menyebut masyarakat mutakhir, "masyarakat tontonan". Dalam "masyarakat tontonan", citra, kesan, dan penampilan luar adalah segalanya. Ia perlu dikemas agar memikat masyarakat. Ingat, politik citra adalah politik kemasan!
Perkembangan politik ternyata tak bisa menghindar dari kemajuan teknologi komunikasi dan pergeseran selera masyarakat. Kanal budaya pop menjadi sarana komunikasi antara elite politik dan massa. Budaya pop, politik, dan komunikasi politik mengalami konvergensi (bertemu) satu sama lain. Misalnya, kampanye politik sudah lumrah melibatkan artis pop, musik pop/dangdut, dan program televisi dipenuhi dengan politisi "artis" pop. Politisi yang "serius" pun (seperti tentara!) harus berhadapan dengan sorotan yang terus-menerus dari media pop atas kinerja pribadi dan politiknya.

Memang gejala ini bukanlah hal baru. Ia mengalami peningkatan akibat dukungan budaya televisi dan digital. Dalam Politics and Popular Culture, Street (1997) melukiskan genre politik ini sebagai "soal penampilan" (a matter of performance). Politik memiliki kaitan yang erat dengan budaya pop. Permainan di depan pemirsa televisi menjadi bentuk seni pertunjukan. Menurut Street, politik sebagai budaya pop adalah menciptakan khalayak. Orang yang akan tertawa dengan lelucon, memahami kecemasan, dan berbagi harapan dengan politisi, baik media pop maupun politisi menciptakan karya fiksi pop yang menggambarkan dunia impian rakyat.

Di era kedigdayaan televisi, politik dan laku politisi menjadi panggung hiburan. Di era ini, politisi lebih suka tampil di media dan membuat sensasi berita. Lebih suka retorika daripada karya, lebih doyan fashion ketimbang vision. Televisi tampil sebagai media utama kanal komunikasi elite politik sekaligus kanal gosip politik.

Televisi tidak hanya menjadi media talkshow yang kian mencerdaskan. Akan tetapi lewat televisi, pertengkaran dan perkelahian elite politik menjadi drama dan telenovela politik di ruang keluarga. Hubungan pacar gelap seorang politisi menjadi bumbu acara infotainment dan majalah gosip. Meledaknya industri telefon seluler telah memicu industri "perselingkuhan politik". Dipaparkannya "hubungan mesra" beberapa oknum politisi di layar HP menjadi contohnya!

Di era kedigdayaan "masyarakat hiburan", bisnis politik terus bertaut dengan bisnis hiburan. Pada saat yang sama terus berlangsung revolusi dalam lanskap komunikasi politik di Indonesia. Debat antarcalon pejabat mulai di tingkat pusat hingga daerah kian menjelaskan pentingnya senyum kemenangan, wajah ramah dan segar, komposisi bedak di pipi, semir dan sisir rambut yang rapi dan klimis, dan sedikit kerdipan mata ke penonton.

Dan, perlu ditambahkan pula, kemampuan menyanyi. Penampilan diri yang kukuh dan penuh percaya diri dicampur kehangatan menyapa pemirsa menjadi tanda kesiapan sang politisi. Dari ruang-ruang persiapan yang melibatkan "juru rias kampanye" disemprotkan berbagai parfum yang menebarkan aroma wewangian di pentas interaksi elite politik Indonesia. Pemilu 2004 mulai menandai aura wewangian dan kemewahan menjadi sarana komunikasi citra antarelite politik dan antara elite politik dan massa.

Para teoretisi komunikasi politik kontemporer menyebut kriteria penting kesuksesan politisi masa kini adalah kemampuan mengeksploitasi televisi dan memproyeksikan profil pribadinya. Politisi yang sukses selalu mengeksploitasi teknologi komunikasi era mereka. Theodore Roosevelt mempromosikan karier politik dan menjadi perintis awal seni manajemen kesan di media. Kemenangan Kennedy atas Nixon awal 1960-an adalah kemenangan citra. Kemenangan Ronald Reagan, sang aktor pada 1980-an dan kemenangan Arnold Schwarzenegger sebagai Gubernur California pada 2000-an adalah logis ketika media adalah pembentuk kesan.

Keberhasilan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) mempromosikan karier politiknya juga berkat "drama politik" yang dimediakan dan ditelevisikan. Dimulai saat pengunduran dirinya dari posisi menko polkam. Melalui manajemen persepsi, realitas SBY telah "digelembungkan" menjadi citra unggulan, yang dipertarungkan merebut dukungan suara di bursa politik.

Sejak itu, tampilan politik Indonesia menjadi lain. Ketika batas politisi dan selebriti menjadi kabur, ketika politisi menjadi aktor, dan para selebriti berduyun-duyun memasuki pentas politik, tak heran para elite di Indonesia kian rajin membaca puisi, main gitar, dan menyanyi. Pidato politik kini mulai diselingi dengan alunan suara politisi (sekalipun terdengar sumbang).

Ketika rentetan musibah menimpa bangsa, Presiden SBY merespons, mengajak bangsa Indonesia terus bersabar dan melantunkan lagu "Untuk Kita Renungkan" yang diiringi dentingan gitar Ebiet G. Ade. Dalam masyarakat hiburan (amusement society), tampak bagaimana cara elite politik Indonesia menanggapi bencana. Tak harus membuat kening berkerut, fun saja, dan hadapi dengan sabar dan senyum.. Potret tebaran senyum politisi Indonesia di pentas budaya pop

Tidak ada komentar:

Posting Komentar