DI BALIK
TANGISAN SI BURHAN
Oleh: Abdur
Rohman
Pagi
buta, di saat sang mentari masih malu untuk menampakkan siluet-siluet
cahayanya, tampak seorang anak yang diselimuti kesunyian duduk termenung di atas
kesedihan yang mendalam, sejak hatinya terguncang di dalam teka-teki ketiadaan
kedua orang tuanya, namun di balik ketiadaan orang tuanya ada secercah
permasalahan yang tidak pernah diketahui olehnya. Burhan anak kecil yang hidup
dalam rintihan itu.
Cerita
ini berawal di saat Burhan masih berumur dua tahun yang hidup dalam bingkai
kebahagiaan bersama kedua orang tuanya.
Pagi
itu disambut rintihan angin dan kicauan burung yang menghiasi dalam rumah yang
mewah di desa Maguwoharjo, burhan bak satu-satunya mutiara dalam cangkang
kehidupan orang tuanya, yang selalu memberikan janji untuk membahagiakan ayah
dan ibunya. Ayahnya menyambut hal tersebut dengan senyuman hangat, sambil
berkata:
“Ayah
tidak pernah membatasi kamu akan jadi apa, tapi ayah cuman ingin melihat kau
bahagia.”
“Iya
Anakku, kamu anak semata wayang dan mutiara penerang bagi kami,” sahut sang
ibu.
“Terima
kasih, Ibu, Bapak,” Burhan terharu dengan mata yang berkaca-kaca.
Dering
alarm jam di atas meja, “kring-kring!!” yang mengharuskan Burhan untuk brangkat
ke masjid. Burhan seorang anak yang soleh dan suka bergaul hingga teman-temanya
menyukainya, sebut Arif nama teman akrabnya, sebelum mengaji mereka selalu
bercanda tawa. Arif mengajak Burhan untuk belajar bersama di rumahnya, karena Burhan
orang yang pintar di kelasnya.
“Burhan
ajarin aku akidah akhlak ya,” ujar Arif.
“Kamu harus bayar dulu,” canda Burhan. Dan, Burhan
termasuk anak suka mengaji, bahkan suara lembutnya disambut oleh lantunan angin
di sekitar masjid.
Di
saat malam mendatangi dunianya, sejenak kemudian Burhan melepas lelah, suara
rintihan hujan mengiringi langkah tidur Burhan, dalam alunan mimpi buruk yang
ketika itu memecahkan keheningan malam, Burhan menjerit “ahk,, tidak,,” orang
tuanya serentak bangun saat itu.
“Kenapa
Anakku,,?” kata Ibunya sambil bergumam.
“Aku
bermimpi Ayah dan Ibu meninggalkanku,” ucap Burhan sembari mengusap air
matanya.
“Burhan...Burhan..,
itu hanya mimpi saja, mungkin karena kau kecape’an,” ayahnya mencoba meyakinkan
Burhan.
“Benar Nak,” tutur ibunya.
Hari
senin mengawali pagi Burhan berangkat ke sekolah dengan mobil merahnya. Ia
datang, sedangkan ayahnya kerja dikantor Jaya Bakti. Tempat sekolah SDN Al-Ihsan,
nama tempat itu bukan berarti sekolah yang bagus atau bertingkat, tapi sekolah
itu terlihat tua tak terawatt. Sedang Pak Murib guru olahraga favoritnya yang
penuh semangat tengah mengayuh sepeda ontelnya, meski tua, jiwa semangatnya selalu
menggambarkan bahwa umurnya belasan tahun. Kemudian Pak Murib mengakhiri
materinya dengan do’a, suara bel sekolah menggrutuk telinga para siswa di antara
bangku-bangku kelas yang mengisyaratkan berakhirnya pelajaran itu, disambut
mentari menyapa dengan sinar putihnya.
Seperti biasa, sebelum mengawali tidur siang,
Burhan membantu ibunya berjualan di toko, saat itu Burhan bergelayut dalam
lamunan, kemudian datanglah bapak-bapak dengan wajah mirip ibunya, tapi
bapak-bapak itu menghampiri ibunya,, sungguh aku tak tahu apa maksud itu, tutur
Burhan dalam benak pikirnya.
Waktu terus mengalir, membawa Burhan
semakin giat karena ujian kenaikan kelas di ambang pintu. Dan jiwa semangatnya
menghantarkan Burhan dengan prestasi
terbaiknya ke kelas V SD. Hadiah sepatu baru pun telah disiapkan orang tuanya
baginya, tak lupa keluarga Burhan juga berterima kasih kepada Pak Murib sebagai
wali kelas Burhan waktu itu.
Di
kemudian hari dimana seorang bapak-bapak itu kembali muncul di depan pintu
rumah Burhan, dan ingin bertemu dengan ibunya. Seketika Burhan pandangi wajah
ibunya semakin cemas, entah apa yang mendasarinya, dalam hati Burhan sangat
ingin tahu.
“Kenapa
Ibu gelisah,?!” ucap Burhan sembari turut merasakan kegelisahan ibunya.
“Tidak ada apa-apa wahai Anakku,”
“Lantas mengapa Ibu gelisah,?”
“Ibu
cuma kurang enak badan.”
“Istirahatlah
bu!.”
Malam
sunyi, ditemani suara jangkrik yang bersahutan yang mengalir dalam hembusan
angin malam itu.
Subuh
pun menjelang, pagi itu terasa mencekam tanpa ada suara dari orang tuanya,
“Ibu, Bapak di mana?” ditambah dinginnya pagi
itu semakin menambah sunyi rumah itu. Dengan
sengaja Burhan menengok kamar orang tuanya, ternyata kedua orang tuanya
meninggal dengan lumuran darah, sontak Burhan berteriak seperti yang dia alami
dalam mimpi.
“Ahk…,
tidakk Bu, Pak, jangan tinggalkan Burhan”, disertai isak tangis.
Serasa tak percaya bahwa itu kenyataan, kemudian
tetangganya pun berhamburan mendatangi rumahnya, serta menghubungi polisi, dan
kasus itu masih dalam penyedikan polisi. Suara rintihan Burhan membuat matanya
bengkak, dia tidak sekolah, tidak makan, dan dia hanya duduk termenung meratapi
nasibnya kini, sambil memandangi kamar orang tuanya.
Tak
seperti biasanya pagi yang ceria, Burhan tidak pergi sekolah, dan teman-temanya
pun ikut berduka cita, kemudian Pak Murib berkunjung ke rumah burhan.
“Assalamu’alikum, Burhan.”
“Wa’alakumsalam,” sembari menangis.
Kemudian
dia memeluk erat sang guru.
“Pak,
aku sudah tidak punya siapa-siapa lagi.”
“Masih
ada aku yang akan menemanimu, untuk saat ini Burhan tinggal dirumah Bapak saja,”
tutur Pak Murib sambil mengelus pundaknya, kemudian ajakan itu diterimah oleh
Burhan. Sebelum Burhan meninggalkan rumahnya, Burhan menyiapkan pakaian, dan
untuk meredupkan kerinduan ia kepada orang tuanya, Burhan sengaja ke kamar orang
tuanya, tanpa disengaja di atas meja rias ibunya ada foto ibunya bersama
bapak-bapak yang ia temui waktu itu. Semakin penasaran, Burhan menanyakan
kepada tetangga sekitar, ibunya ternyata mempunyai saudara kandung, tapi beda
bapak, tetapi kakeknya Burhan memberikan warisan sepenuhnya kepada ibu Burhan,
yang kemudian menimbulkan pertentangan di antara keduannya mengenai warisan
tersebut. Dan Burhan semakin curiga kepada bapak-bapak yang diwaktu lalu menemui
ibunya yaitu paman ia sendiri. Seketika itu burhan ke kantor polisi untuk
melaporkan kasus itu dan pihak polisi berhasil mengusut kasus tersebut. Bahwa benar
pembunuhnya adalah pamanya sendiri, sebut namamya suparno.
Dan,
akhirnya Burhan tenang akan kasus itu, kemudian ia hidup penuh motivasi dengan
Pak Murib, hingga waktu mengantarkanya menjadi orang sukses.