Jumat, 15 Juni 2012

PENGERTIAN IJMA'

BAB  I
PENDAHULUAN

A.    Latar Belakang
Sebagai persyartan dalam mengerjakan tugas kelompok studi fiqih serta sebagai pedoman pengetahuan mengenai sumber hukum selain al-qur’an hadits serta qiyas, yaitu dengan kesepakatan para ulama’ mengenai hukum dari suatu masalah yang belum memiliki hukum yang pasti dan jelas dalam al-qur’an ataupun dalam hadits.

B.     Rumusan masalah
1.      Apakah pengertian ijma’ ?
2.      Apa rukun – rukun ijma’ ?
3.      Apa dalil dasar ijma’ ?
4.      Apa macam – macam ijma’ ?

C. Tujuan Pembahasan
1. Untuk mengetahui pengertian ijma’
2. Untuk mengetahui rukun – rukun ijma’
3. Untuk mengetahui dalil dasar ijma’
4. Untuk mengetahui macam – macam ijma’





BAB II
PEMBAHASAN

A.      PENGERTIAN IJMA’
Ijma’ adalah kesepakatan para ulama’ fiqih yang hidup dalam satu periode, dengan tanpa ada pengingkaran atas keabsahan hukum yang berkaitan dengan kejadian yang baru datang, seperti di haramkanya sholat dalam keadaan berhadats.ijma’ dilakukan setelah wafatnya Rasulullah,karena semasa hidup rasul apabila terdapat masalah langsung di tanyakan kepada rasulullah.
Ijma’ menurut lughot mempunyai dua arti :
1.                  ‘Azm atau keinginan yang bulat, seperti firman Allah dalam alqur’an :
فأجمعوا أمركم
(Maka dari itu bulatkanlah tekadmu)
2.                  Ittifaq atau kesepakatan
Sedangkan ijma’ menurut istilah adalah :
اتّفاق كلّ مجتهدي علماء الفقه أهل العصر من أمّة سيّدنا محمّد ص م بعد وفاة نبيّها ص م على حكم الحادثة
(Kesepakatan para mujtahid yang terdiri dari para ulama’ fiqih, dari ummat Muhammad saw, yang hidup atas hukumnya suatu perkara yang baru datang dalam satu periode, setelah wafatnya nabi kita saw atas hukumnya perkara yang baru datang.)
Yang di maksud dengan kesepakatan di sini, bisa berupa I’tiqod, ucapan, perbuatan, diam atau persetujuan. Artinya ijma’ itu tidak harus berupa ucapan secara langsung. Karena I’tiqod, perbuatan atau diamnya seseorang ulama’ itu juga bisa menjadi perwujudan dari suatu kesepakatan. Demikian juga tidak adanya pengingkaran dari suatu ulama’ atas suatu kejadian, itu berarti juga sebuah persetujuan, sedangkan persetujuan merupakan perwujudan dari sebuah kesepakatan.
Yang di maksud dengan para ulama’ di sini adalah para ulama’ fiqih yang sudah mencapai tingkatan mujtahid, yaitu para ulama’ yang mempunyai otoritas penuh untuk menggali hukum langsung dari sumbernya. Seperti Imam Malik, Sufyan at- tsauri, Abu Hanifah, Imam As Syafi’I dan lain sebagaianya. Dengan demikian kesepakatan Ulama’ Ushuliyyin, Ulama’ Nahwiyyin. Ulama’ Mutashowwifin dan lain sebagaianya tidak bisa di sebut ijma’.
Para Ulama’ yang telah bersepakat atas suatu masalah tersebut, harus hidup dalam suatu masa. Misalnya para Ulama’ bersepakat atas haramnya daging babi. Berarti para Ulama’ yang mengharamkan daging babi tersebut harus hidup dalam satu masa. Jika ada satu orang saja dari mereka mencabut pendapatnya sebelum meninggal dunia, maka ijma’ tersebut menjadi batal.
Kesepakatan para ulama’ dalam satu periode ini menjadi hujjah bagi ulama’ yang hidup pada periode berikutnya. Artinya para ulama’ yang hidup pada periode setelah itu, tidak berhak membatalkan atau menentangnya.
Kesepakatan umat-umat terdahulu atas suatu masalah, tidak bisa di sebut ijma’ karena yang di maksud dengna ijma’ para fuqoha’ Mujtahidin dari kalangan umat Muhammad Saw.
Ketika nabi saw masih hidup tidak ada istilah ijma’. Karena ijma’ itu terjadi setelah wafatnya nabi saw. Yakni mulai zamanya para sahabat tabi’in, tabi’I at tabi’in dan seterusnya. Sebagian ulama’ berpendapat bahwa ijma’ hanya terjadi pada periodenya para sahabat, karena ijma’ itu bisa di anggap sah apabila semua pelakunya terdiri dari orang-orang yang adil. Dan keadaan semacam itu hanya bisa di jumpai pada periode para sahabat.
Pendapat ini di tentang oleh sebagian ulama’ yang lain. Mereka mengatakan bahwa menurut pendapat yang paling shohih, para pelaku ijma’ ini tidak harus orang-orang yang adil. Karena yang menjadi persyaratan utama di dalam ijma’ ini adalah para pelakunya harus sudah mencapai tingkatan mujtahid. Sedangkan ijtihad itu sendiri tetap di anggap sah meskipun dilakukan oleh orang fasiq.
Oleh karena para pelaku ijma’ ini adalah para ahli fiqh, maka sudah tentu ijma’ ini hanya berkaitan dengan hukum-hukum syar’i. Seperti ijma’ ulama’ mengenai di haramkanya sholat dalam keadaan berhadats, halalnya jual beli, diharamkanya ba’I ribawi dan lain sebagainya. Sedangkan hukum-hukum lughowiyah seperti fa’il itu harus di baca rofa’, atau hokum-hukum aqliyyah, seperti baru datangnya alam, atau hukum-hukum dunyawiyyah, seperti pidana, perdata dan lain sebagaianya. Semua itu sama sekali tidak ada hubunganya dengan ijma’.
Terdapat suatu pernyataan bahwa umat Muhammad saw saja yang ijma’nya bisa di buat pegangan/hujjah.
Adapun kesepakatan-kesepakatan yang di capai oleh umat-umat terdahulu, sama sekali tidak bisa di buat pegangan untuk menetapkan hukum-hukum syar’I, Misalnya saja umat pada zaman nabi Dawud As telah bersepakat di perbolehkan menikahi perempuan sebanyak-banyaknya. Ijma’ pada zaman nabi Dawud semcam ini sama sekali tidak bisa di berlakukan pada umat Muhammad saw.
Karena hanya umat Muhammad saja yang jelas-jelas mendapat jaminan dari Allah terjaga dari kesesatan, Rosulullah saw bersabda:
لاَتَجْتَمِعُ أُمّتي على ضَلالةٍ
“Umatku tidak mungkin bersepakat dalam kesesatan” (HR.Atturmudzi)
Selain itu hanya umat Muhammad saw saja yang di pilih oleh Allah sebagai umat yang membawa panji-panji keadilan. Di dalam alqur’an surat al baqoroh ayat 143 Allah swt berfirman:
وكَذَالِك جَعلْناَكُم أُمَّةً وَسَطاً
“Dan demikian pula kami telah menjadikan kalian (umat islam) yang adil dan pilihan.”
Setiap ijma’ itu menjadi hujjah bagi orang-orang yang hidup pada periode mendatang, adapun mengenai habisnya para ulama’ pada periode itu, tidak menjadi syarat sahnya ijma’. Namun menurut pendapat yang lain, hal itu di syaratkan dengan para ulama’ yang ikut berpartisipasi dalam ijma’ tidak boleh mencabut kembali kesepakatanya, kecuali menurut Qoul Tsani yang tidak melarangnya, berpijak dari Qoul Tsani , apabila ada anak yang terlahir, kemudian menjadi ahli fiqh dan ahli ijtihad, maka pendapatnya anak tersebut juga di perhitungkan.
Keterangan:
Ijma’nya para ulama’ yang sudah memenuhi ketentuan-ketentuan seperti di atas, berarti berlaku untuk periode itu dan juga untuk periode-periode mendatang sampai datang akhir zaman. Artinya orang-orang hidup pada masa itu dan masa-masa berikutnya . wajib mentaatinya dan tidak boleh menentangnya atau memunculkan pendapat lain yang berbeda, Allah berfirman:
ومَن يُشَاقِقِ الرّسولَ مِن بَعدِ مَا تَبَيَّنَ لَهُ الهُدَى ويَتَّبِع غَيْرَ سَبِيْلِ المُؤْمِنِيْنَ نُوَلِّهِ مَا تَوَلّى وَنُصلِهِ جَهَنَّمَ وَسَائَتْ مَصِيْراً
“ Dan barang siapa menentang rosul sesudah jelas kebenaran baginya, dan mengikuti jalan yang bukan jalan orang-orang mukmin, kami biarkan ia leluasa terhadap kesesatan yang telah di kuasainya itu dan kami masukkan ia ke dalam jahannam, dan jahannam itu seburuk-buruk tempat kembali” (An Nisa. 115)
Melihat ayat di atas, jelas sekali bagi orang yang tidak mengikuti jalan yang di tempuh orang-orang mukmin ia tergolong orang yang sesat dan di ancam oleh Allah akan di masukkan ke dalam neraka jahannam. Dengan demikian, kesepakatan para ulama’ yang mewakili kaum mukminin menjadi ketetapan hukum yang bersifat mengikat dan wajib di ikuti sepenuhnya oleh orang-orang mukallaf sampai waktu yang tidak terbatas.
Menurut Qoul shohih, keabsahan suatu ijma’ tidak harus menunggu wafatnya semua ulama’ yang menjadi pelaku ijma’ tersebut. Begitu kesepakatan itu tercapai, maka langsung di hukumi sah dan tidak bisa di cabut kembali. Misalnya ada seorang saja yang pendapatnya berubah, kemudian ingin mencabut kembali kesepakatanya, maka yang demikian itu sama sekali tidak berpengaruh terhadap kelangsungan ijma’.
Sementara itu pendapat kedua mengatakan bahwa ijma’ itu bisa dianggap sah dan tidak boleh di tentang apabila para ulama’ yang ikut andil dalam kesepakatan itu semuanya telah meninggal dunia, dengan demikian di perbolehkan bagi salah seorang diantara mereka mencabut kembali pendapatnya, sehingga bisa menyebabkan batalnya ijma’.
Dan apabila di jumpai anak yang terlahir pada masa itu, kemudian menjadi ahli fiqh dan bisa mencapai tingkatan mujtahid, kemudian memunculkan pendapat yang bersebrangan dengan kesepakatan yang terdahulu, maka pendapat anak tersebut bisa membatalkan kelangsungan ijma’.
Adapun ijma’ itu bisa di hasilkan dengan ucapan-ucapan dari para ahlinya dan juga bisa dengan tindakan-tindakan, atau dengan ucapan dari sebagian mujtahid yang bersamaan dengan tindakan yang di lakukan oleh sebagian yang lain atau dengan tersebarnya suatu ucapan/perbuatan yang di lakukan sebagian mujtahid sementara itu yang lainya mendiamkanya.
Keterangan:
Ijma’ di tinjau dari bentuk kesepakatanya terbagi menjadi empat macam:
1.        Ijma’ yang di hasilkan dari ucapan-ucapan para mujtahid. Misalnya saja mereka mengucpkan secra langsung, bahwa khomr itu haram, sholat lima waktu hukumnya wajib, jual beli halal, sholat rwatib itu sunnah dsb, ijma’ semcam ini di sebut dengan ijma’ Qouli.
2.        Ijma’ yang di hasilkan dari tindakan-tindakan yang di lakukan oleh para mujtahid. Misalnya para ulama’ mujtahid semuanya pernah memakan daging unta. Berarti menunjukkan bahwa daging unta itu halal  erdasarkan ijma’ para ulama’, ijma’ semacam ini di sebut dengan ijma’ fi’li.
3.        Ijma’ yang di hasilkan dari penggabungan antara ucapan-ucapan sebagian ulama’ dengan tindakan-tindakan sebagian yang lain, misalnya sebgian ulama’ berfatwa memakai suraban pada waktu , itu hukumnya sunnah. Kemudia sebgian ulama’ yang lain, meskipun tidak mengeluarkan fatwa serupa namun mereka ketika sholat selalu memakai surban. Hal ini menunjukkan bahwa memakai surban ketika sholat itu hukumnya sunnah.
4.        Ijma’ yang di hasilkan dari ucapan-ucapan atau tindakan-tindakan sebagian ulama’ yang beritnya tersebar luas sehingga terdengar oleh sebagian ulama’ yang lain dan mereka mendiamkanya dalam tenggang waktu yang cukup untuk berfikir. Diamnya sebagian ulama’ ini berarti merupakan suatu persetujuan, ijma’ yang terakhir ini di sebut dengan ijma’ sukuti.
Ucapan dari sahabat nabi saw yang berupa pendapatnya sendiri tidak bisa dijadikan hujjah menurut Qoul jadid.
Menurut Qoul qodim ucapan sahabat bisa di jadikan hujjah karena berpegang pada hadits yang menerangkanya, akan tetapi hadits itu di tolak karena dianggap dloif oleh para ulama’.
Keterangan:
Apabila salah seorang diantara para sahabat nabi saw mengatakan suatu hukum dengan berdasarkan ijtihadnya sendiri, maka perkataan ini tidak bisa dijadikan hujjah/ pedoman bagi sahabat-sahabat yang lain, menurut kesepakatan ulama’.
Dalam Qoul jadidnya Asy Syafi’I mengatakan bahwa perkataan para sahabat nabi saw itu tidak bisa di buat hujjah / pedoman sesama sahabat dan juga bagi selainya sahabat.
            Pada awalnya As Syafi’I dalam qoul qodimnya sependapat dengan pendapat imam malik yang mengatakan bahwa perkataan seorang sahabat merupakan hujjah bagi selainya sahbat, Artinya perkataan sahabat nabi ini bisa dijadikan pijkan untuk menetapkan hukum bagi para mujtahid yang hidup setelah kurunya para sahabat, karena nabi saw bersabda:
أصحابي كالنّجُومِ بِأيّهِم اقتَدَيتُم اهتَدَيتُم
“ sahabat-sahabatku laksana bintang-bintang, ketika engkau mengikuti salah satu diantara mereka  engkau akan mendapat petunjuk”
            Pendapat kedua ini di tolak oleh para ulama’ karena hadits yang di jadikan dasar adalah hadits yang dloif, berdasarkan penelitian para ulama’ muhadditsin, namun demikian imam Al jauhari berpendapat bahwa hadits tergolong hadits hasan, karena hadits tersebut di riwayatkan oleh imam Al bukhori dan yang lainya.
Ringkasan:
Orang yang mengingkari hukum yang telah di sepakati oleh para ulama’ (al-mujma’alaih) itu terbagi dalam tiga kategori.
1.        Dihukumi kufur dengan tanpa ada perselisihan, apabila hokum yang di ingkari tersebut ma’luman min ad din bi dloruroh, yaitu masalah-masalah agama yang dianggap maklum, baik bagi orang alim maupun orang awwam, seperti contoh mengingkari wajibnya sholat, berpuasa. Mengingkari haramnya perzinaan, khomr, dsb. Karena mengingkari hal-hal yang sudah maklum seperti iini sama halnya menganggap berbohong terhadap nabi yang membuat syari’at.
2.        Dihukumi kufur menurut Qoul Ashoh, apabila hokum yang di ingkari tersebut masyhurun bay an naas, yaitu masalah-masalah agama yang masyhur diantara manusia dengan berdasarkan nash. Seperti contoh mengingkari halanya jual beli dsb.
3.        Tidak dihukumi kufur apabila hokum yang di ingkari tersebut adalah al khofi al ladzi laa ya’rifuhu illa al-khowwash, yaitu masalah-masalah agama yang tidak begitu jelas, yang hanya bisa diketahui oleh orang-orang alim saja. Seperti contohh mengingkari rusaknya ibadah haji yang di sebabkan bersetubuh / jima’ sebelum wukuf dsb. Meskipun masalah-masalah yang tidak begitu jelas ini bersandarkan pada nash, namun bagi orang yang mengingkari tidak di hukumi kufur. Seperti mengingkari bagian seper enam  yang di tetapkan untuk bintu al ibni (anak perempuan dari anak laki-laki) yang bersamaan dengan bintu ash shulbi (anak perempuan kandung), yang bersandarkan pada sebuah hadits riwayat al bukhori.

Definisi dari ijma menurut Drs. Nazar Bakry adalah Ijma’ menurut syara’ adalah suatu kesepakatan bagi orang-orang yang susah payah dalam menggali hukum agama (mujtahid) di antara umat Muhammad SAW, sesudah beliau meninggal dalam suatu masa yang tidak ditentukan atau suatu urusan (masalah) di antara masalah-masalah yang diragukan (yang belum ada ketetapannya dalam kitab dan sunnah).1)
Sedangkan menurut Syekh Abdul Wahab Khallaf dalam bukunya adalah ijma’ menurut istilah ushul ialah sepakat para mujtahid Muslim memutuskan suatu masalah sesudah wafat Rasulullah terhadap hukum syr’i, pada suatu peristiwa.2)
Sedangkan dalam buku karangan Syaikh Muhammad Al-Khudhari Biek menerangkan bahwa ijma’ ialah suatu produk hukum atas hasil kesepakatan para mujtahidin dari suatu umat dalam suatu masa.3)
Pada sumber lain ada yang mengatakan bahwa ijma’ secara bahasa adalah niat yang kuat dan kesepakatan. Dan arti menurut bahasa adalah kesepakatan para mujtahid ummat ini setelah wafatnya Nabi Shalallahu ‘alaihi wa salam terhadap suatu hukum syar’i.4)
Pada referensi yang lainnya ada yang mengatakan Ijma' (الِإجْمَاعُ) adalah mashdar (bentuk) dari ajma'a (أَجْمَعَ) yang memiliki dua makna:
1)   Tekad yang kuat (العَزْمُ المُؤَكَّدُ) seperti: أَجَمَعَ فُلَانٌ عَلَى سَفَرٍ  (sifulan bertekad kuat untuk melakukan perjalanan).
2)      Kesepakatan (الاتِّفَاقُ) seperti: (أَجْمَعَ المُسْلِمُوْنَ عَلَى كَذَا) kaum muslimin bersepakat tentang sesuatu.
Sedangkan makna Ijma' menurut istilah adalah:[1]
اتِّفَاقُ مُجْتَهِدِيْ أُمَّةِ مُحَمَّدٍ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بَعْدَ وَفَاتِهِ فِيْ عَصْرِ مِنَ العُصُوْرِ عَلَى أَمْرٍ مِنَ الأُمُوْرِ
"kesepakatan para mujtahid ummat Muhammad saw setelah beliau wafat dalam masa-masa tertentu dan terhadap perkara-perkara tertentu pula". (lihat Irsyadul Fuhul: 71).
Menurut definisi diatas, kandungan dasar pokok Ijma' antara lain:
1)      Kesepakatan (الاتِّفَاقُ) artinya kesatuan pendapat, baik ditujukan oleh perkataan atau dengan sikap.
2)   Para Mujtahid (المُجْتَهِدُوْنَ). Ijtihad adalah kemampuan yang dimiliki oleh orang yang alim (berilmu) untuk mngistinbatkan (menetapkan) hukum-hukum syar'i dari dalil-dalilnya. Sehingga yang dituntut dari seorang mujtahid adalah pengarahan kemampuan secara maksimal dalam menetapkan ketentuan hukum.
3)      Ummat Muhammad yang dimaksud adalah ummat ijabah (ummat yang menerima seruan dakwah Nabi saw).
4)      Setelah wafatnya Nabi saw, sehingga kesepakatan kaum muslimin ketika beliau hidup tidak disebut ijma'.
5)      Didalam satu masa tertentu artinya kesepakatan yang terjadi pada masa kapan saja.
6)      Pada perkara-perkara tertentu yaitu perkara-perkara syar'i atau perkara-perkara yang bukan syar'i tetapi memiliki hubungan dengan syari'at (lihat, Ibhaj fi Syarh Minhaj: 2/349).5)

B.       SENDI-SENDI IJMA’
Sendi-sendi ijma’ menurut definisi di atas menunjukkan bahwa ia hasil kodifikasi pendapat mujtahid satu dengan pendapat mujtahid yang lainnya yang sesuai. Maka dari itu dapat dipahami bahwa sendi ijma’ yang menjadi syarat terbentuknya ijma’ ada empat, yaitu:
1.        Bahwa jarangnya penentang pendapat mempengaruhi terwujudnya ijma’, karena pengertian kesepakatan belum terwujud, hanya saja banyak ahli hukum berhujjah dengan pendapat mayoritas jika jarang terdapat penentang mereka.
2.        Bahwa andaikata tidak terdapat dalam suatu masa kecuali seorang mujtahid yang mempunyai pendapat dalam suatu perkara, tidaklah pendapat itu dianggap ijma’, karena kesepakatan tidak terwujud pengertiannya dan juga bukan merupakan hujjah, karena bilamana tidak ada sifat ijma’ darinya, ia pun menjadi pendapat tunggal dari mujtahid dan kemungkinan terjadi kesalahan, maka perkataannya bukanlah hujjah.
3.        Pendapat itu haruslah satu dan menjadi kesepakatan. Maka, andaikata umat suatu masa terpecah menjadi dua pihak, yang satu mengemukakan satu pendapat dan yang kedua mempunyai pendapat lain dalam suatu hukum, apakah ini dianggap ijma dari mereka. Sedangkan dalam masa itu hanya ada salah satu dari kedua pendapat ini sehingga tidak boleh bagi orang sesudah mereka untuk mengemukakan pendapat ketiga ataukah ia tidak dianggap ijma’? sebagian besar ulama tidak boleh mengemukakan pendapat ketiga dan sebagian kecil mengatakan boleh.
4.        Semestinya tampak kesepakatan dengan mengemukakan pendapat sehingga diketahui dan nyata bahwa ia adalah kesepakatan. Adapun bila didiamkan dengan cara sebagian mujtahid memberikan fatwa dengan suatu hukum atas suatu masalah atau memutuskan hukum suatu perkara atas dirinya sendiri sementara mujtahid lainnya berdiam diri dan tidak menyangkalnya, maka hal ini dikategorikan ijma’ atau tidak? Apabila hal tersebut terjadi, maka hal itu dinamakan ijma’ sukuti.
C.      SYARAT IJMA’
Ijma’ memiliki syarat-syarat diantaranya:
1.        Tetap melalui jalan yang sholih yang artinya dengan kemahsyurannya dikalangan ulama atau orang yang menukilkannya adalah orang yang tsiqoh dan luas pengetahuannya.
2.        Tidak didahului oleh khilaf yang telah tetap sebelumnya. Artinya jika didahului oleh hal itu maka bukanlah ijma’ karena perkataan tidak batal dengan kematian yang mengucapkannya maka ijma’ tidak bisa membatalkan khilaf yang ada sebelumnya, akan tetapi ijma’ bisa mencegah terjadinya khilaf.
Jumhur ulama’ fiqh , mengemukakan pula syarat-syarat ijma’ , yaitu :
a.         Yang melakukan ijma’ tersebut adalah orang-orang yang memenuhi persyaratan ijtihad.
b.        Kesepakatan itu muncul dari para mujtahid yang bersidat adil (berpendirian kuat terhadap agamanya).
c.         Para mujtahid yang terlibat adalah yang brusaha menhgindarkan diri dari ucapan atau perbuatan bid’ah.
Ketiga syarat ini disepakati oleh seluruh ulama’ ushul fiqh . Ada juga syarat lain , tetapi tidak disepakati para ulama’ , di antaranya :
1)        Para mujtahid itu adalah sahabat
2)        Mujtahid itu kerabat rasulullah saw,; apabila memenuhi dua syarat ini, para ulama’ ushuk fiqh menyebutnya dengan ijma’ sahabat
3)        Mujtahid itu adalah ulama’ madinah
4)        Hukum yang disepakati tiu tidak ada yang membantahnya sa,pai wafatnya selruh mujtahid yang menyepakatinya
5)        Tidak terdapat hukum ijma’ sebelumnya yang sebelumnya berkaitan dengan masalah yang sama.

D.      SANDARAN IJMA’
Ijma’ tidaklah berlaku kecali mempunyai mustanad (sandaran), karena fatwa tanpa sandaran adalah salah; disebabkan ia merupakan pendapat mengenai agama. Hal ini demi menjaga umat terjerumus dari kesalahan. Boleh saja seseorang berkata: Sesungguhnya kesalahan itu terjadi bila tidak ada kesepakatan diatasnya, adapun sesudah terjadinya ijma’, maka tidak ada kesalahan, karena ijma’ itu adalah benar.
Pada pendapat yang lain, apabila rukun ijma’ yang empat diatas telah terpenuhi dengan menghitung seluruh permasalahan hukum setelah wafatnya Rasulullah SAW dari seluruh mujtahid kaum muslimin walau dengan perbedaan negeri, jenis dan kelompok mereka yang diketahui hukumnya. Perihal ini, nampak setiap mujtahid mengemukakan pendapat hukumnya dengan jelas baik dengan perkataan maupun perbuatan baik secara kelompok maupun individu. Selanjutnya mereka menyepakati hukum tersebut, kemudian hukum tersebut disepakati menjadi aturan syar’i yang wajib diikuti dan tidak mungkin menghindarinya. Lebih lanjut, para mujtahid tidak boleh menjadikan hukum masalah ini (yang sudah disepakati) garapan ijtihad, karena hukumnya sudah ditetapkan secara ijma’ dengan hukum syar’i yang qath’i dan tidak dapat dihapus (dinasakh).
Para ulama’ ushul fiqih mendasarkan kesimpulan mereka bahwa ijma’ adalah sah sebagai landasan hukum ke- pada berbagai argumentasi,antara lain:
1.                  Surat an-nisa’ ayat 115 surat:
`tBur È,Ï%$t±ç tAqߧ9$# .`ÏB Ï÷èt/ $tB tû¨üt6s? ã&s! 3yßgø9$# ôìÎ6­Ftƒur uŽöxî È@Î6y tûüÏZÏB÷sßJø9$# ¾Ï&Îk!uqçR $tB 4¯<uqs? ¾Ï&Î#óÁçRur zN¨Yygy_ ( ôNuä!$yur #·ŽÅÁtB ÇÊÊÎÈ  
115. dan Barangsiapa yang menentang Rasul sesudah jelas kebenaran baginya, dan mengikuti jalan yang bukan jalan orang-orang mukmin, Kami biarkan ia leluasa terhadap kesesatan yang telah dikuasainya itu[348] dan Kami masukkan ia ke dalam Jahannam, dan Jahannam itu seburuk-buruk tempat kembali.

[348] Allah biarkan mereka bergelimang dalam kesesatan.

2.                  Hadis rasulullah, riwayat abu daud dan tirmidzi:

عن ابن عمر أن رسول الله صلى الله عليه و سلم إن الله لا يجمع أمتي أو قال أمة محمد صلى الله عليه و سلم على ضلالة  (رواه الترمذي)

Dari ibnu umar, rasulullah saw. Bersabda: “ sesungguhnya allah tidak akan mengumpulkan umatku, atau beliau berkata umat Muhammad saw. Atas kesesatan. (HR. at-Tirmidzi.)

Landasan (sanad ) ijma’
Ijma’ baru dapat diakui sebagai dail atau landasan hukum bilamana dalam pembentukannya mempunyai landasan syara yang disebut sanad(landasan) ijma’.
Para ulama’ ushul fiqih sepakat atas keabsahan al-qur’an dan sunnah sebagai landasan ijma’. Contoh ijma’ yang dilandaskan atas al-qur’an adalah kesepakatan para ulama’ atas keharaman menikahi nenek dan cucu perempuan. Kesepakatan tersebut dilandaslkan atas ayat 23 surat an-nisa’ yang berbunyi :
ôMtBÌhãm öNà6øn=tã öNä3çG»yg¨Bé& öNä3è?$oYt/ur öNà6è?ºuqyzr&ur öNä3çG»£Jtãur öNä3çG»n=»yzur ßN$oYt/ur ˈF{$# ßN$oYt/ur ÏM÷zW{$# ãNà6çF»yg¨Bé&ur ûÓÉL»©9$# öNä3oY÷è|Êör& Nà6è?ºuqyzr&ur šÆÏiB Ïpyè»|ʧ9$# àM»yg¨Bé&ur öNä3ͬ!$|¡ÎS ãNà6ç6Í´¯»t/uur ÓÉL»©9$# Îû Nà2Íqàfãm `ÏiB ãNä3ͬ!$|¡ÎpS ÓÉL»©9$# OçFù=yzyŠ £`ÎgÎ/ bÎ*sù öN©9 (#qçRqä3s? OçFù=yzyŠ  ÆÎgÎ/ Ÿxsù yy$oYã_ öNà6øn=tæ ã@Í´¯»n=ymur ãNà6ͬ!$oYö/r& tûïÉ©9$# ô`ÏB öNà6Î7»n=ô¹r& br&ur (#qãèyJôfs? šú÷üt/ Èû÷ütG÷zW{$# žwÎ) $tB ôs% y#n=y 3 žcÎ) ©!$# tb%x. #Yqàÿxî $VJŠÏm§ ÇËÌÈ  
23. diharamkan atas kamu (mengawini) ibu-ibumu; anak-anakmu yang perempuan[281]; saudara-saudaramu yang perempuan, saudara-saudara bapakmu yang perempuan; saudara-saudara ibumu yang perempuan; anak-anak perempuan dari saudara-saudaramu yang laki-laki; anak-anak perempuan dari saudara-saudaramu yang perempuan; ibu-ibumu yang menyusui kamu; saudara perempuan sepersusuan; ibu-ibu isterimu (mertua); anak-anak isterimu yang dalam pemeliharaanmu dari isteri yang telah kamu campuri, tetapi jika kamu belum campur dengan isterimu itu (dan sudah kamu ceraikan), Maka tidak berdosa kamu mengawininya; (dan diharamkan bagimu) isteri-isteri anak kandungmu (menantu); dan menghimpunkan (dalam perkawinan) dua perempuan yang bersaudara, kecuali yang telah terjadi pada masa lampau; Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.
 [281] Maksud ibu di sini ialah ibu, nenek dan seterusnya ke atas. dan yang dimaksud dengan anak perempuan ialah anak perempuan, cucu perempuan dan seterusnya ke bawah, demikian juga yang lain-lainnya. sedang yang dimaksud dengan anak-anak isterimu yang dalam pemeliharaanmu, menurut jumhur ulama Termasuk juga anak tiri yang tidak dalam pemeliharaannya.
Para lama’ sepakat bahwa yang dimaksud dengan kata ummhat (oara ibu )dalam ayat tersebut mencakup ibu kandung dan nenek, dan kata banat (anak-anak wanita) dalam ayat tersebut mencakup anak perempuan dan cucu perempuan.
Contoh ijma’ yang dilandaskan pada sunnah ,kesepakatan ulama’ bahwa nenek menggantikan ibu bilamana ibu kandung dari si mayit sudah wafat dalam hal mendapat harta warisan. Kesepakatan tersebut dilandaskan atas hadis bahwa rasulullah,ketika ibu si mayit sudah tidak ada, pernah member nenek seperenam dari harta warisan cucunya sebagaimana disebut dalam hadis:
عن ابن أبى عمر قال جائت الجدة أم الأم و أم اللأب إلى أبى بكر فسأل الناس فشهد المغيرة بن شعبة أن رسول الله صلى الله عليه و سلم أعطاها . (رواه الترمذي)

Dari ibnu umar berkata ,ada seorang nenek yaitu ibu kandung ibu dan ib kandung ayah yang datang kepada abu bakar (menanyakan sesuatu) maka abu bakar bertanya kepada orang-orangdan al-mughiroh bin syu’bah lah yang bisa memberi tahu bahwa sesungguhnya rasulullah saw,memberikan bagian warisan kepada nenek seperenam. (HR.Tirmidzi.)
Ulama’ berbeda pendapat mengenai qiyas (analogi) apakah sah dijadikan landasan ijma’ atau tidak. Menurut mazhab zahiri,tidak sah menjadikan qiyas sebagai landasan ijma’. Menurut mayoritas ulama’,qiyas sebagai landasan ijma’. Menurut mayoritas ulama’,qiyas adalah sah dijadikanlandasan ijma’.contohnya seperti dikemukakan abdul karim zaidan, adalah kesepakatan ulama’ atas keharaman minyak babi di –qiyaskan atas keharaman dagingnya.

E.       MACAM-MACAM HUKUM IJMA’
Ditinjau dari sudut cara menghasilkan hukum itu, maka ijma ini ada dua macam:
1.      Ijmak Sharih
Yaitu kesepakatan mujtahid terhadap hukum mengenai suatu peristiwa.masing-masing bebas mengeluarkan pendapat.jelas terlihat dalam fatwa, dan dalam memutus suatu perkara.
2.      Ijmak Sukuti
Sebagian mujtahid itu terang-terangan menyatakan pendapatnya itu dengan fatwa, atau memutuskan suatu perkara. Dan sebagian lagi hanya berdiam diri.
     Pada pendapat lainnya, hukum yang dihasilkan dari ijma’ juga terdapat dua macam:
a.         Ijma’ qath’iy, yaitu suatu kesepakatan para ulama dalam menetapkan hukum suatu masalah tanpa ada bantahan di antara mereka. Ijma’  qath’iy ini dapat dijadikan dalil (alasan) dalam menetapkan hukum suatu masalah.
b.        Ijma’ Sukutiy, yaitu suatu kesepakatan para ulama dalam menetapkan hukum suatu masalah, kesepakatan mana mendapat tantangan (hambatan) di antara mereka atau tenang (diam) saja salah seorang di antara mereka dalam mengambil suatu keputusan masalah itu.
F.       BENTUK-BENTUK IJMA’
Pada pendapat Syekh Abdul Wahab Khallaf macam-macam ijma’ antara lain:
1.         Ijmak qath’i, yaitu ijmak sharih dengan pengertian bahwa hukumnya itu diqath’ikan olehnya. Tidak ada jalan bagi hukum terhadapa suatu peristiwa, dengan adanya khilaf (perbedaan pendapat).
2.         Ijmak dzanni, yang menunjukkan atas hukumnya, yaitu ijmak dzanni dengan pengertian hukumnya itu masih diragukan.



Pada pendapat yang lain macam-macam ijma’ antara lain:
1.         Ijma’ Qath’i
Ijma’ yang diketahui keberadaannya di kalangan umat ini dengan pasti, seperti ijma’ atas wajibnya sholat lima waktu dan haramnya zina. Ijma’ jenis ini tidak ada seorangpun yang mengingkari ketetapannya dan keberadaannya sebagai hujjah, dan dikafirkan orang yang menyelisihinya jika ia bukan termasuk orang yang tidak mengetahuinya.
2.         Ijma’ Dzanni
Ijma’ yang tidak diketahui kecuali dengan dicari dan dipelajari (tatabbu' & istiqro'). Dan para ulama telah berselisih tentang kemungkinan tetapnya ijma’ jenis ini, dan perkataan yang paling rojih dalam masalah ini adalah pendapat Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah yang mengatakan dalam Al Aqidah Al Wasithiyyah : "Dan ijma’ yang bisa diterima dengan pasti adalah ijma’nya as-salafush-sholeh, karena yang setelah mereka banyak terjadi ikhtilaf dan umat ini telah tersebar." Ketahuilah bahwasanya umat ini tidak mungkin bersepakat untuk menyelisihi suatu dalil yang shohih dan shorih serta tidak mansukh karena umat ini tidaklah bersepakat kecuali diatas kebenaran. Dan jika engkau mendapati suatu ijma’ yang menurutmu menyelisihi kebenaran, maka perhatikanlah! Mungkin dalilnya yang tidak shohih atau tidak shorih atau mansukh atau masalah tersebut merupakan masalah yang diperselisihkan yang kamu tidak mengetahuinya.

G.      KEDUDUKAN IJMA’
Taroklah mungkin adanya ijma’ dan mungkin pula diketahui serta mungkin dipindahkan, tetapi tidak mungkin ijma’ itu dijadikan hujjah (alasan) dalam menetapkan hukum, karena yang menjadi alasan adalah Kitab dan Sunnah atau ijma’ yang didasarkan kepada kitab dan sunnah, justru itu mereka katakan “ijma’ tidaklah termasuk dalil yang bisa berdiri sendiri”.
H.      FAEDAH IJMA’
Para ulama' berbeda pendapat tentang faidah Ijma', apakah memberi faidah yang qoth'y atau dzonny. Dalam masalah ini ada tiga (3) pendapat yang kuat, yaitu:
1)      Ijma' adalah hujjah qoth'y. Al-Ashfahani berkata: inilah yang masyhur.
2)      Ijma' tidak memberi faidah kecuali dzonny saja, baik sandarannya bersifat qoth'y atau dzonni.
3)      Ijma' yang disepakati oleh ulama' mu'tabar (diakui kualitas keilmuannya), maka dianggap qhot'y sedangkan Ijma' yang tidak disepakati seperti Ijma' Sukuti yaitu Ijma' yang penetapannya tidak ditetapkan dengan tegas, maka dinilai dzonni. Inilah pendapat yang tepat, sebagaimana yang dipilih oleh syeikhul Islam Ibnu Taimiyah.
I.         RUKUN IJMA’
Rukun ijma’ menurut jumhur ulama’ ada lima :
1.        Yang terlibat dalam pembahasan hukum syara’ melalui ijma’ tersebut adalah seluruh mujtahid . Apabila ada diantara mujtahid yang tidak setuju ,sekalipun jumlahnya kecil ,maka hukum yang dihasilkan itu tidak dinamakan hokum ijma’ .
2.        Mujtahid yang terlibat dalam pembahasan hukum itu adalah seluruh mujtahid yang ada pada masa tersebut dari bervagai belahan dunia isalam.
3.        Kesepakatan itu diawali setelah masing-masing mujtahid mengemukakan pandangannya.
4.        Hukum yang disepakati itu adalah hukum syara’ yang bersifat actual adan tidak ada hukumnya secara rinci dalam al-qur’an.
5.        Sandaran hukum ijma’ tersebut haruslah al-qur’an atau hadis rasulullah saw.

J.      TINGKATAN IJMA’

Dilihat dari segi cara terjadinya kesepakatan terhadap hukum syara’ itu, para ulama’ ushul fiqh membagi ijma ‘ menjadi dua bentuk , yaitu ijma ; sharih lafdzi dan ijma’ sukuti
Ijma’ sharih /lafdzi adalah kesepakatan para mujtahid , baik melalui pendapat maupun melalui perbuatan terhadap hkum masalah tertentu. Kesepakatan itu disampaikan pada siding ijma; setelah masing-masing mujtahid mengemukakan pendapatnya trhadap masalah yang dibahas . ijma’ seperti ini.
Muhammad abu zahrah mengemukakan alasan yang dikemukakan ulama’ hanafiyah dan ulama’ hambaliyah adalah :
1. Diamnya (al sukut) para ulama’ setelah mengetahui suatu hukum hasil ijtihad yang dikemukakan seorang mujtahid adalah setelah mempelajari dan menganalisis hasil ijtihad itu dri berbagai segi. Adalah kewajiban para ulama’ mempelajari hasil ihtihad lama’ lain yang diungkapkan di zaman mereka . apabila seorang ulama’ mengemukakan menyebarluaskan hasil ijtihadnya dalam suatu kasus , sementara ulama’ lain setelah mempelajari dan menganalisis hasil ijtihad itu-diam saja,maka hal itu menunjukkan persetujuannya. Karena, para ulama’ ushul fiqh sepakat menyatakan:
السكوت فى موضع البيان بيان
2.Diam (saja) ketika suatu penjelasan diperlukan , dianggap sebagai penjelasan
Maksudnya , sikap diam para ulama’ dianggap sebagai penjelasan atas persetujuan mereka terhadap suatu hasil ijtihad yang telah diungkapkan .adalah tidak dapat diterima (tidak layak) jika para ahli fatwa diam saja ketika mendengar adanya fatwa ulama’ lain . karena sesuai dengan kebiasaan di lingkungan para ulama’ fatwa yaitu jika ada seorang ulama’ mengemukakan pendapatnya tentang suatu kasus , maka para ulama’ lain harus menanggapinya jika fatwa itu dianggap tidak benar. Karenanya, apabila para ulama’ iu diam saja , maka sikap tersebut dianggap sebagai pertanda setuju . disamping itu , apabila para ulama’ lain (yang tidak mengeluarkan fatwa hukum) menganggap fatwa itu menyimpang dari nash atau metode yang digunakan tidak sesuai dengan metode yang telah disepakati bersama , lalu mereka diam saja , maka mereka berdosa . adalah merupakan kewajiban bagi mereka untuk mempelajari , menganalisis dan membantah suatu fatwa apabila ternyata tidak sejalan dengan nash atau metode yang digunakan idak sesuai dengan metode yang ada.






BAB III
PENUTUP

A.    Kesimpulan

Ijma’ menurut lughot mempunyai dua arti : ‘Azm atau keinginan yang bulat, seperti firman Allah dalam alqur’an :
فأجمعوا أمركم
(Maka dari itu bulatkanlah tekadmu)
Secara etimologi ijma’ berarti kesepakatan atau consensus. Pengertian ini dijumpai dalam surat yusuf ,12 : 15
Pengertian etimologi kedua dari ijma’ adalah العزم على الشئ     (ketetapan hati utntuk melakukan sesuatu). Pengertian kedua ini di temukan dalam surat yunus ,10 : 71
Perbedaan antara pengertian pertama dengan pengertian kedua terletak pada kuantitas (jumlah) orang yang berketetapan hati. Pengertian pertama mencukupkan satu tekad saja , sedangkan untuk pengertian yang kedua memerlukan tekad kelompok.
Secara terminilogi , ada beberapa rumusan ijma’ yang dikemukakan para ulama’ ushul fiqh . Ibrahim ibn siyar al-nazzam , seorang tokoh mu’tazilah , merumuskan ijma’ dengan “setiap pendapat yang didukung oleh hujjah , sekalipun pendapat itu muncul dari seseorang,”.akan tetapi , rumusan al-nazzam ini tidak sejalan dengan pengertian etimologi di atas.
Rukun ijma’ menurut jumhur ulama’ ada lima :

1.              Yang terlibat dalam pembahasan hukum syara’ melalui ijma’ tersebut adalah seluruh mujtahid . Apabila ada diantara mujtahid yang tidak setuju ,sekalipun jumlahnya kecil ,maka hokum yang dihasilkan itu tidak dinamakan hokum ijma’ .
2.              Mujtahid yang terlibat dalam pembahasan hukum itu adalah seluruh mujtahid yang ada pada masa tersebut dari bervagai belahan dunia isalam.
3.              Kesepakatan itu diawali setelah masing-masing mujtahid mengemukakan pandangannya.
4.              Hukum yang disepakati itu adlah hokum syara’ yang bersifat actual adan tidak ada hukumnya secara rinci dalam al-qur’an.
5.              Sandaran hukum ijma’ tersebut haruslah al-qur’an atau hadis rasulullah saw.
syarat-syarat ijma’ , yaitu :
a.              Yang melakukan ijma’ tersebut adalah orang-orang yang memenuhi persyaratan ijtihad.
b.              Kesepakatan itu muncul dari para mujtahid yang bersidat adil (berpendirian kuat terhadap agamanya).
c.              Para mujtahid yang terlibat adalah yang brusaha menhgindarkan diri dari ucapan atau perbuatan bid’ah.

B. Saran
                        Agar dapat menjadikan pegangan dasar hukum ke 3 dalam merumuskan suatu hukum syara’.dari pengetahuan mengenai ijma’ ini kita dapat memahami suatu hukum yang belum tertulis jelas dalam al-qur’an dan hadits .
                        Apabila terdapat kesalahan dan kekeliruan baik yang di sengaja ataupun yang tidak di sengaja semua itu karena kelemahan kami dan keterbatasan pengetahuan kami, mohon kiranya kritik dan saran dalam menyempurnakan makalah ini , sehingga dapat bermanfaat bagi kami tim penyusun ataupun teman-teman sekalian.







DAFTAR PUSTAKA

-  Biek, Syaikh Muhammad Al-Khudhari. 2007. Terjemahan Ushul Fiqh. Jakarta:Pustaka Amani
-  Khallaf, Syekh Abdul Wahab. 2005. Ilmu ‘usul Fikh. Jakarta:PT Rineka Cipta
-  Bakry, Nazar. 1993. Fiqh dan Ushul Fiqh. Jakarta:Rajawali Pers
-  Syarifuddin,amir.1997.Ushul Fiqh Jilid 1 .Jakarta : PT .LOGOS Wacana Ilmu
-  (haroen,nasrun.ushul fiqh.jakarta : logos wacana ilmu.1997.hal.58-59)
-  (Effendi,satria, ushul fiqih.jakarta:PRENADA MEDIA.2005cet 1)



[1]Bakry, Nazar. Fiqh dan Ushu Fiqh. Hal.50
2  Khallaf, Syekh Abdul Wahab. Ilmu Ushul Fiqh.
3

1 komentar:

  1. kalau nulis blok yang jelas ,
    klo gini caranya yang membaca jadi bingung
    !!!!!!!!!!!!!

    BalasHapus